Surat dari Ayahanda

Penggambaran Malaikat Gabriel

Penggambaran Malaikat Gabriel

Pagi hari, ketika embun masih menyelimuti Istana Jonggol, pintu kamar Putri Jonggol diketuk. Semua penghuni Istana, termasuk para pelayan, tahu bahwa sejak pukul 04.30 sang putri sudah bangun, lalu mandi dan merapihkan diri. Ini kebiasaannya sejak belia, hasil didikan orang tuanya.

Dari layar monitor kamera CCTV (close circuit television), sang putri melihat pelayan pribadinya berdiri di depan pintu.
“1230?”
“Hendak mengantar sepucuk kertas dari ayahanda…”
“1671”
“Baik, saya letakkan di kotak di depan pintu…”
“9988”
“Kembali… Tuan Putri”

Pelayan itu pergi. Lalu Putri menekan sebuah tombol di dekat daun pintu dan kotak di depan pintu jadi bercahaya bagian dalamnya. Pemindaian berlangsung untuk meneliti keamanan kertas di dalamnya. Ancaman racun, bom, atau senjata biologis mulai jadi perhatian serius di Istana. Tiap benda yang datang ke Istana selalu diperiksa dengan ketat sejak berada di pintu masuk yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari bangunan Istana. Selanjutnya, di masing-masing pintu kamar tokoh-tokoh penting Istana, seperti raja, ratu, putri, kepala keamanan, para ilmuwan, dan kepala pelayan disediakan kotak pemindaian tersendiri.

Setelah dinyatakan aman oleh tanda ‘bip’ singkat, sang putri menekan tombol lain dan kertas itu meluncur masuk ke kotak lain di dalam kamar. Putri membuka amplop kertas itu dan mendapati dua lembar kertas yang dibubuhi cap khusus Raja Jonggol. Sang Putri mulai membaca isi surat itu di meja kerjanya.

Rupanya, ayahanda mengirim sebuah artikel, yang ditulis dengan mesin ketik. Pemakaian sarana e-mail internal, meski sudah dijamin aman oleh ilmuwan Jonggol, terkadang dihindari oleh keluarga inti Istana, untuk menjaga kerahasiaan yang dianggap sangat penting. Pelayan yang mengantar surat tadi pun diuji terlebih dahulu keaslian dirinya oleh sang putri dengan komunikasi bahasa sandi yang diciptakan sendiri oleh Putri. Hanya pelayan itu yang bisa merespons sandi tersebut. Dan Putri akan mengubah sandinya dengan sandi baru dalam waktu yang tidak bisa diduga. Pernah ketika Raja baru lolos dari upaya pembunuhan, sang putri mengganti sandinya dalam rentang waktu acak selama satu bulan penuh, yakni satu hari berganti, tiga hari kemudian berganti, lalu esoknya berganti lagi, dua hari kemudian berganti, satu jam kemudian berganti lagi, dan seterusnya.

Anakku tercinta,
sebelum kita berbicara rinci soal keadaan yang telah disampaikan mamamu, baiknya engkau telaah tulisan ini lebih dulu. Ayah selalu mencintamu…

Malaikat ada di mana-mana. Sayangnya, kita tak tahu mana malaikatnya. Apakah orang yang sedang menyeberang jalan itu? Yang sedang mengemudi di dalam sedan mewah itu? Yang sedang mendorong gerobak bakso itu? Yang sedang mengamen di lampu merah itu? Atau yang sedang membaca tulisan ini?

Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang tahu. Seandainya kita bisa mengatakan diri kita sebagai malaikat, mungkin urusannya jadi lebih mudah. Tapi, kita tidak bisa melakukan itu. Padahal, barangkali kita bisa. Sebab, kita mungkin pernah menolong kucing kecil yang kedinginan diguyur hujan. Kita juga mungkin pernah memberi uang kepada seseorang yang kehabisan uang. Kita juga pasti pernah memberi makan orang lain. Kita semua pasti pernah melakukan kebajikan.

Apakah ukuran untuk disebut sebagai malaikat hanya karena pernah berbuat kebajikan? Kalau begitu, semua orang bisa disebut malaikat. Tapi, faktanya tidak begitu. Malaikat konon tercipta dari cahaya. Mereka juga tak punya hawa nafsu. Kalau demikian, kita jelas bukan malaikat. Kita adalah manusia. Tetapi, bisa melakukan perbuatan yang dilakukan malaikat.

Sebaliknya, pernahkah Anda mencari setan? Yang mana setan di antara kita? Apakah orang yang sedang makan di restoran itu? Orang yang sedang tidur itu? Teman yang sedang duduk di sebelah kita? Artis yang cantik itu? Atau orang yang sedang membaca tulisan ini?

Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang tahu. Yang jelas, nyaris tidak ada orang yang mau disebut sebagai setan. Sebagian besar orang berlomba ingin disebut malaikat dan menampilkan kebaikannya. Padahal, banyak orang yang melakukan pembunuhan, pemerkosaan, pelecehan, penghinaan, kebohongan, kecurangan dan sebagainya. Apakah mereka pantas disebut sebagai setan?

Mengapa setan dianggap mewakili kejahatan, sedangkan malaikat dianggap mewakili kebaikan? Ini adalah dogma agama. Setan dinilai jahat karena menentang perintah Tuhan untuk tunduk kepada manusia. Malaikat dianggap baik karena menuruti perintah Tuhan untuk bersujud kepada manusia.

Dalam hal ini, malaikat lebih fleksibel. Dia tunduk kepada Tuhan, tapi mau juga disuruh tunduk kepada manusia. Adapun setan memilih bersikap tegas, yakni hanya mau tunduk kepada Tuhan. Artinya, setan memiliki kesetiaan yang luar biasa. Setan tidak bisa mendua.

Tetapi, mengapa sikap tegas dan setia yang diperagakan setan dimaknai sebagai ‘kesombongan’, bahkan hingga kini setan diidentikkan dengan kejahatan? Barangkali, karena setan tidak pernah menurunkan ajaran kepada manusia, ajaran yang bisa dipakai untuk membenarkan sikapnya. Setan tidak pernah menurunkan kitab-kitab yang kita kenal secara luas sekarang ini. Setan tidak memiliki nabi.

Malaikatlah yang menurunkan ajaran-ajaran. Malaikatlah yang menurunkan kitab-kitab dan nabi-nabi. Malaikat membentuk cara berpikir manusia.

Tetapi, pernahkah kita sadari, bahwa pertikaian antar-manusia yang terjadi sejak ribuan tahun lalu banyak disebabkan oleh ajaran malaikat? Sudah berapa banyak perang yang timbul karena perbedaan agama? Berapa juta orang mati membela agamanya masing-masing? Bahkan, sampai hari ini perang modern dikorbarkan karena ketidakcocokan terhadap suatu agama?

Lantas, apakah setan benar-benar hanya diam dan sujud kepada Tuhan? Apakah setan sama sekali tidak punya andil dalam sejarah manusia? Mungkin tidak demikian. Sebab, sikap sejati setan, yakni ketegasan dan kesetiaan, juga diperagakan oleh banyak manusia. Kita bisa melihat para penentang malaikat pun banyak bermunculan di muka bumi. Mereka adalah manusia yang lebih mengutamakan kemampuan olah pikirnya sendiri, ketimbang menerima ajaran malaikat. Mereka tidak mau tunduk kepada dogma. Mereka rasional. Mereka menjunjung tinggi kebebasan berpikir. Mereka menjunjung tinggi ilmu yang dihasilkan pemikiran manusia.

Malaikat juga mengajarkan ilmu pengetahuan di dalam kitab-kitabnya. Namun, dalam perkembangannya, manusia lebih menyerap unsur dogma dari ajaran malaikat. Pernah suatu masa, oleh beberapa gelintir manusia, dilakukan rasionalisasi terhadap kitab-kitab malaikat, sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan yang tinggi. Namun, itu tidak kekal karena, lagi-lagi, jauh lebih banyak manusia yang memilih mengambil dogma. Biasanya, para pengambil dogma ini adalah manusia yang ingin berkuasa. Dogma-dogma pun berhasil digunakan untuk menggiring alam pikiran manusia lain agar tunduk kepada penguasa.

Adapun manusia yang tidak mau tunduk kepada dogma memiliki kesinambungan ilmu pengetahuan yang lebih baik. Mereka menciptakan sistem sosial yang sekuler (tidak berkaitan dengan agama). Hasil karya mereka antara lain adalah demokrasi, liberalisme, dan kemajuan teknologi.

Persoalan selanjutnya, apakah tidak pernah terjadi pertikaian antar-manusia karena demokrasi, liberalisme, dan teknologi? Tentu pernah terjadi. Di Indonesia saja, jutaan orang pernah dibunuh karena kekuasaan yang menamakan diri demokrasi ingin menggantikan komunisme. Belum lagi kisah serupa yang terjadi di tempat lain. Contoh lain, berapa banyak kaum petani atau manusia kurang pendidikan yang akan dirugikan oleh liberalisasi perdagangan dunia? Lantas, contoh teknologi yang membunuh manusia, terlalu banyak untuk disebutkan.

Jadi, sebaiknya kita mengikuti malaikat atau setan? Manusia adalah gabungan keduanya. Kita bisa menjadi malaikat atau setan, bahkan menjadi keduanya. Kebaikan dan kejahatan tak pernah bisa dilepaskan dari diri kita. Keduanya adalah bagian diri kita.

Manusia akan selalu baik dan jahat, sekaligus. Satu paket. Inilah manusia.

–berlanjut ke Cerita 5–