Teknologi Sudah Canggih, Mengapa Bermain Senjata Kuno?

Kujang Siliwangi. Sanggup patahkan baja. Orang bule takluk?

Kujang Siliwangi. Sanggup patahkan baja. Orang bule takluk?

Ruang peraduan ini sangat indah. Seluruh dindingnya dilapisi kain warna putih dan merah jambu yang disinari lampu di baliknya. Sedangkan langit-langitnya merupakan layar plasma raksasa tempat bermainnya ribuan cahaya berwarna-warni. Juga layar bagi televisi dan film. Tidak ada tempat tidur di ruangan itu. Sebab, seluruh lantainya adalah matras empuk dengan bahan lembut. Ini benar-benar sebuah ruangan tanpa furniture atau perlengkapan lain. Ini adalah ruang tidur yang sempurna. Di atas matras yang lebar itu, sepasang suami istri berbaring berdampingan.

“Ayah, di atas meja besar di depan ruang ini ada beberapa benda kuno. Apakah Ayah ingin menyampaikan sesuatu kepada Mama berkaitan dengan benda-benda itu?” Permaisuri memulai percakapan.

“Iya, Mama. Benda-benda itu berkaitan dengan masa depan kita. Ayah berharap, dengan melihat benda-benda itu, pikiran Mama akan tergiring ke arah yang sebelumnya tidak terduga. Sebuah alam pikiran yang paralel dengan rasionalitas yang kita gunakan selama ini,” ujar Sang Raja.

“Maksud Ayah, agar Mama melirik dunia spiritualitas kuno yang saat ini cenderung dilupakan orang?”

“Tidak persis seperti itu, Mama. Bukankah Mama selama ini juga mempraktekkan spritualitas kuno dengan shalat lima waktu? Ayah hanya ingin Mama mengetahui makna dari pengumpulan benda-benda itu. Sesuatu yang secara langsung akan berkaitan dengan Mama…”

“Naluri Mama mengatakan bahwa akan terjadi hal besar…”

“Benar Mama. Lawan-lawan kita tengah bergerak dengan kekuatan besar untuk menaklukkan kita. Mereka datang dengan senjata yang diduga sangat merusak. Tetapi, ini sebatas hipotesa, karena kita belum mengetahui persis senjata itu akan bekerja seperti apa. Namun, kepala keamanan mengatakan bahwa senjata itu berasal dari dunia spiritualitas kuno…”

“Apakah mereka sudah bosan menyerang kita dengan senjata modern?”

“Benar Mama. Mereka bosan karena tidak pernah berhasil dengan senjata modern. Selain itu, kali ini mereka tidak lagi mengirim orang suruhan, melainkan melakukannya dengan tangan mereka sendiri. Senjata modern bisa menimbulkan ekses yang tidak mereka inginkan, serta dapat mengundang perhatian pihak lain, bahkan kepolisian atau militer. Mereka jelas menghindari kemungkinan seperti ini, mengingat kerahasiaan mereka, serta pihak-pihak lain di belakangnya, yang begitu dijaga.”

“Mereka akan membunuh kita dengan tangan mereka sendiri… Sungguh berat beban mereka…”

“Mereka tidak akan membunuh semudah itu, Mama…”

“Benarkah? Mengapa?”

“Sebab, putri kita pergi tanpa diketahui keberadaannya, termasuk oleh mereka. Membunuh kita tidak akan menyelesaikan persoalan di mata mereka, karena putri kita masih hidup dan tetap dapat meneruskan kejayaan istana kita. Lain halnya bila kita dibunuh dan putri kita dikuasai mereka, maka istana ini akan dijadikan alat yang sangat efektif untuk memperluas pengaruh mereka, terlebih lagi di negara kita pengaruh istana ini cukup kuat…”

“Oh, Putriku… engkau memang sangat mulia…”

“Ya, Mama… Anak kita berpikir dan mengambil sikap yang sangat tepat…”

“Jadi, yang akan mereka lakukan sekarang adalah tidak membunuh kita, lalu apa?”

“Mereka ingin mengendalikan kita. Itulah target mereka saat ini. Bahkan, mungkin, kita akan dijadikan bagian dari mereka, karena lebih menguntungkan bila kita ada di pihak mereka…”

“Tapi, Ayah, mengapa tidak kita saja yang kali ini bersikap agresif dan menyerang mereka?”

“Itulah yang akan kita lakukan sekarang, Mama. Kita akan menghadang mereka di tempat lain, bukan di sini. Kita serang mereka di Bangkok…”

“Lantas, benda-benda kuno itu, apa kaitannya dengan semua ini?”

“Itu semua adalah persiapan kalau-kalau prediksi kita tentang senjata dari dunia spiritualitas kuno benar-benar mereka gunakan. Kita memiliki senjata-senjata yang sangat hebat dari dunia spiritualitas nenek moyang kita sendiri…”

“Sungguh ironis ya, Ayah… Ketika kita sudah sampai kepada pencapaian teknologi yang sangat tinggi, bahkan bisa memodifikasi cuaca, ternyata kita akan bertempur dengan senjata-senjata kuno…”

“Benar, Mama. Memang ironis. Tetapi, demikianlah pertempuran yang akan kita hadapi. Sebuah pertempuran yang bukan ditujukan untuk membunuh, tetapi untuk menaklukkan. Senjata-senjata modern tidak bisa digunakan untuk menaklukkan pikiran dan jiwa kita. Itulah inti soalnya. Mereka benar-benar ingin menaklukkan kita dengan tuntas, yakni menjadikan jiwa dan pikiran kita seperti mereka…”

“Apakah ini pertempuran yang akan kita menangkan, Ayah?”

“Sulit untuk menjawabnya, Mama… Tetapi, kita harus yakin pada kebenaran yang kita miliki…”

***

Sambil menanti kantuk datang, Raja Jonggol kemudian mengisahkan riwayat beberapa senjata kuno. “Topeng Gajah Mada merupakan perwujudan jiwa ksatria Majapahit yang memegang teguh prinsip kebenaran. Dengan topeng di wajah, seorang ksatria tidak mudah terkejut, takut, atau gembira sehingga terlena. Selain itu, topeng itu mengisyaratkan kepercayaan yang tinggi yang dapat diembankan kepada si pemakai topeng. Raja Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit suka berbicara kepada Gajah Mada yang memakai topeng, sebab Hayam Wuruk merasa tidak berbicara kepada seseorang, melainkan kepada suatu institusi kepercayaan. Itulah makna filosofis topeng Gajah Mada. Sedangkan kemampuan fisik topeng ini sudah teruji di berbagai peperangan dan penaklukkan wilayah dari Sabang sampai Irian Jaya, serta dari selatan Jawa hingga kepulauan Filipina, termasuk Malaysia dan Thailand. Bahan bajanya lebih kuat ketimbang pedang samurai pada masanya. Bahan baku bajanya tidak dibentuk dengan peleburan, melainkan dengan pemanasan dan tempaan yang berlapis-lapis, sehingga topeng itu seperti pemadatan lempengan besar baja menjadi hanya sebesar wajah manusia.

Dengan topeng inilah, Gajah Mada tidak pernah benar-benar dikenali wajahnya. Ia pun menjadi figur sejarah yang misterius, semisterius asal usulnya, juga semisterius makamnya yang tidak pernah diketahui keberadaannya. Di masa kini, berbagai wilayah di Indonesia mengklaim menjadi tempat makan patih hebat itu. Misalnya, provinsi Bali, provinsi Jawa Timur, provinsi Jawa Tengah, bahkan provinsi Lampung pun ikut-ikutan mengklaim menjadi tempat peristirahatan terakhir Gajah Mada.

Sayangnya, klaim-klaim itu tidak didukung bukti arkeologis yang kuat. Justru bukti-bukti arkeologis yang banyak ditemukan di situs arkeologi Trowulan yang dianggap sebagai pusat kerajaan Majapahit, sempat disalahgunakan untuk menggambarkan figur gajah mada. Seperti kita ketahui, sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, wajah pria tangguh itu digambarkan oleh pelukis Henk Ngantung, kelahiran Bogor tahun 1921, dengan imajinasinya sendiri dan hasilnya dimuat di berbagai buku pelajaran sekolah. Imajinasi itu berawal dari penemuan sebuah patung di situs Trowulan yang dispekulasikan sebagai penggambaran sosok Gajah Mada. Padahal, patung itu belum tentu menggambarkan sang mahapatih. Namun, karena saat itu adalah masa awal kemerdekaan dan Indonesia memerlukan figur yang dapat membangkitkan rasa nasionalisme, maka sosok Gajah Mada harus dapat dilihat wujudnya, bukan hanya didengar namanya. Lukisan Henk Ngantung pun diterima sebagai penggambaran resmi patih Gajah Mada.

Bagaimana wajah yang sebenarnya dari sang pengucap Sumpah Palapa itu? Tidak ada yang tahu. Tetapi, setidaknya, dimensi dan bentuk topengnya dapat menggambarkan pemiliknya. Topeng ini tidak terlalu besar. Artinya, Gajah Mada memiliki tubuh berukuran rata-rata. Namun, yang jelas, dari warna perak topeng itu dan profilnya yang tampan, Gajah Mada bukanlah orang yang menyeramkan, melainkan orang yang penuh keagungan,” papar Raja Jonggol panjang lebar.

“Bagaimana kita berhasil mendapatkan topeng itu?” tanya Sang Permaisuri.

“Tentu melalui riset betahun-tahun yang telah aku lakukan sejak pertama kali menekuni arkeologi. Belakangan para ilmuwan kita membantu dengan teknologi termutakhir. Dan ternyata topeng itu tidak pernah terkubur di dalam tanah sebagaimana prediksi yang selama ini ada. Topeng itu disimpan dengan baik oleh sekelompok pewaris pusaka Majapahit yang sangat merahasiakan diri mereka. Dan ketika menyadari bahwa keberadaannya telah diketahui oleh Istana Jonggol, mereka menghubungiku dan kami bertemu. Setelah menyepakati beberapa hal, seperti menjaga kerahasiaan mereka, kami pun bersahabat. Bahkan, topeng Gajah Mada kemudian dipinjamkan kepada kita, setelah mereka mengetahui duduk persoalan yang akan kita hadapi dengan lawan-lawan kita. Demikian pula dengan tongkat komando mahapatih Gajah Mada, itu pun kita meminjamnya dari mereka,” ujar Raja Jonggol.

“Bagaimana dengan Kujang Prabu Siliwangi?” tanya Sang Permaisuri yang semakin ingin tahu.

Macan Putih kerap jadi simbol kesaktian Prabu Siliwangi

Macan Putih kerap jadi simbol kesaktian Prabu Siliwangi

“Kujang merupakan senjata yang dipakai raja-raja Pajajaran secara turun temurun dalam berbagai peperangan. Dibuat pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi, yakni di masa jayanya kerajaan Pajajaran, dalam kurun 1.474-1.513, senjata yang berbentuk khas ini diwariskan kepada raja-raja selanjutnya. Awalnya merupakan benda pusaka yang lebih ditekankan makna filosofisnya, yakni menyimbolkan kepemimpinan yang kuat dan bijaksana, namun kemudian senjata itu banyak digunakan dalam pertempuran. Sebab, setelah Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja mangkat, raja penggantinya mulai banyak menghadapi serangan-serangan pasukan Islam. Sebagai contoh, Prabu Surawisesa yang memerintah dalam kurun 1.513-1.527 atau sekitar 14 tahun, menghadapi peperangan tak kurang dari 15 kali. Keadaan perang ini juga dialami oleh penggantinya, Prabu Ratu Dewata (1.527-1.535). Bahkan, penggantinya, Sang Ratu Saksi yang memerintah dalam kurun 1.535-1.543, meninggal di medan perang. Raja-raja selanjutnya, yakni Prabu Ratu Carita dan Prabu Seda pun tak luput dari peperangan dengan Islam. Dan pada masa Prabu Seda inilah, sekitar tahun 1.559-1.579, kerajaan Pajajaran akhirnya runtuh dan digantikan oleh kerajaan Islam dari Banten…” papar Raja Jonggol.

“Apakah kujangnya direbut pasukan Islam?” tanya Sang Permaisuri.

“Itulah Mama, dalam berbagai situasi, biasanya ada orang-orang yang dapat melakukan hal-hal yang berjasa. Ketika keraton Pajajaran yang megah dengan 330 tiang yang masing-masing diameternya sekitar 1 meter dihancurkan, ada empat kerabat istana yang sempat menyelamatkan beberapa benda pusaka, seperti mahkota Prabu Siliwangi yang terbuat dari emas, serta kujang pusaka itu. Keempat orang itu adalah Sanghyang Hawu atau Embah Jaya Perkosa, Batara Pancar Buana atau Terong Peot, Sanghyang Kondang Hapa, dan Batara Dipati Wiradijaya atau Nanganan. Benda-benda itu kemudian diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun di kerajaan Sumedanglarang. Sampai kini, berbagai pusaka tersebut masih tersimpan di museum Prabu Geusan Ulun Sumedang. Dari keturunan raja Sumedang inilah kita mendapatkan kujang sakti yang akan kita gunakan untuk menghadapi lawan-lawan kita,” tutur Raja Jonggol.

Berlanjut ke Cerita 11a